Terapi Autis Dengan Lumba-lumba

Posted by ngunik On Selasa, 01 Februari 2011 0 komentar


Weekend kemarin, whatzups menyempatkan diri refreshing ke Pulau Bidadari, Ancol, Jakarta Utara. Lewat dermaga 17, menyebrang laut dengan menaiki speedboat. Cukup 20 menit, sudah sampai di pulau tujuan. Lumayan bikin jetlek karena ombak agak besar dan mengambil tempat duduk paling depan.

Hari menjelang siang, matahari belum lagi setinggi gala. Jam makan siang belum tiba, kayaknya asik juga kalau keliling pulau. Ternyata, di Pulau Bidadari ini ada tempat penangkaran lumba-lumba. Ada dua lumba-lumba yang dirawat di sana.

Yang satu berusia 12 tahun, berbobot 75 kg dan diberi nama Yosi. Satu lagi terlihat lebih besar, dengan bobot 100 kg, berusia 17 tahun dan diberi nama Mia. Yup! Kedua hewan mamamia itu berjenis kelamin betina. Yang jadi pertanyaan, kenapa Yosi dan Mia (terkesan) diasingkan di pulau ini?

Setelah berbincang sedikit dengan sang pelatih, baru lah whatzups tahu kalau kedua lumba-lumba itu digunakan untuk terapi anak-anak penderita autis. Sebelumnya, Yosi dan Mia adalah penghuni Gelanggang Samudera Ancol. Sejak awal 2009, mereka dipindahkan ke Pulau Bidadari.

Hmm.. Pertanyaan berikutnya, apa hubungan lumba-lumba dan autis??

Autisme


Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks karena ada kerusakan pada otak. Seorang anak penderita autis mengalami gangguan perkembangan komunikasi, perilaku, dan kemampuan bersosialisasi dengan orang lain, bahkan dengan orang terdekat sekali pun. Anak autis juga nggak mampu mengekspresikan perasaan dan keinginannya. Seringkali mereka tertawa dan menangis sendiri.

Secara fisik memang terlihat selayaknya anak normal. Ciri yang paling menonjol adalah susah berbicara. Sampai sekarang, gangguan ini belum diketahui pasti penyebabnya. Tapi, berbagai macam terapi sudah banyak dilakukan, misalnya metode ABA (applied behavioral analysis), hidrotermal, hidromekanik, dan hidrokemis.

Nah, yang sekarang lagi tren adalah terapi lumba-lumba (dolphin therapy). Dr. Ken Marten, ilmuan di Earthtrust, Hawaii, US, mengatakan kalau lumba-lumba mampu mengirim serangkaian sinyal ultrasonic untuk mendeteksi keberadaan benda di sekitarnya. Selain gemar bermain, lumba-lumba punya otak lebih besar dari simpanse atau kera, sehingga tergolong binatang cerdas. Stimulasi dari lumba-lumba pada panca indra memungkinkan kesembuhan bagi manusia.

Lumba-lumba

Di negeri Paman Sam, terapi lumba-lumba dengan kebutuhan khusus sudah nggak asing lagi. Sejak 1978, metode penyembuhan dengan lumba-lumba sudah dikembangkan DR. David Nathanson, Ph.D. Ia adalah seorang psikolog yang sudah menggeluti dunia lumba-lumba lebih dari 30 tahun.

Psikolog yang membuka terapi di Ocean World, Fort Lauderable, Florida, itu awalnya merangsang panca indra anak-anak yang mengalami down syndrome (keterbelakangan mental). Anak-anak itu diajak bermain dan berenang bersama lumba-lumba.

Hasilnya? Anak-anak itu bisa menerima stimulasi dan mulai ada perhatian. Seiring dengan perkembangannya, terapi lumba-lumba nggak cuma untuk anak penderita down syndrome atau autis saja, tapi bisa juga orang dewasa yang mengalami gangguan mental dan sensor saraf indra.


Hasil penelitian Vilchis Quiroz dari Medical Director Aragon Aquarium, Mexico City, hormon endorphin pada manusia meningkat saat berinteraksi dengan lumba-lumba. Sehingga, terbentuk keseimbangan antara otak kiri dan kanan. Gelombang ultrasonik yang dikeluarkan lumba-lumba pun bisa diterima sempurna oleh manusia.



Klinik Dolphin

Klinik Dolphin bekerja sama dengan Gelanggang Samudera Ancol untuk mendirikan terapi lumba-lumba. Pasien yang datang biasanya sudah keluar masuk sekolah autis atau pernah melakukan terapi lain. Terapi lumba-lumba di Klinik Dolphin dilakukan secara bertahap.

Setelah hasil rekaan medik diketahui, pasien wajib datang 10 hari berturut-turut. Hari pertama sampai ketiga, cuma pengenalan situasi dan lumba-lumba. Pasien belum diijinkan turun ke kolam. Hari keempat sampai kesepuluh, pasien diajak bermain dengan seekor lumba-lumba, didampingi terapis dan pelatih lumba-lumba.

Pasien berenang bersama, duduk di punggung sambil memegang sirip, atau memberi makan berupa ikan kecil pada lumba-lumba. Setelah 10 hari terapi, perkembangan pasien dievaluasi. Dari hasil itu, akan ditentukan rencana jenis terapi selanjutnya. Terapi 10 hari pastinya memberi hasil positif untuk pasien. Nggak sedikit anak autis yang bisa berkonsentrasi dan diajak bicara.