SEMANGAT bermain sepak bola tak ikut pupus meski usia kakek warga Tionghoa kelahiran Surabaya, 26 Juli 1930, itu sudah mulai menginjak kepala delapan. Meski tak segesit dan sepiawai dulu ketika muda, dia masih rutin melakoni olahraga yang banyak digemari masyarakat dunia, termasuk Indonesia, itu.
.
Setidaknya, seminggu sekali dia bergelut dengan salah satu permainan body contact tersebut. Lawannya, jangan dikira, rekan-rekan seusianya sesama manula. Selama ini hampir semua partner bermainnya adalah pemain-pemain muda usia 20"30-an tahun. Tentu, secara fisik jauh lebih fresh.
Seperti saat Jawa Pos menemui Tan Liong yang juga populer disebut Latief Harris Tanoto tersebut di Stadion Taman Sari di kawasan Mangga Besar, Jakarta, pada Sabtu sore (30/1). Dengan helm masih terpasang, Tanoto yang baru turun dari motor dengan dibonceng anaknya terlihat bersemangat masuk ke stadion.
Telah tiba silih berganti sebelumnya, belasan pemuda dan beberapa lelaki warga Tionghoa. Mereka berbaur dengan sejumlah orang dari kelompok etnis lainnya. "Ayo Papi, cepat pakai sepatunya, langsung kita main," teriak salah seorang di antara mereka dari dalam lapangan, menyambut kedatangan kakek yang suka disapa Tan Lion itu.
Sekilas dipandang, mungkin sebagian besar orang tak akan menyangka, masa muda lelaki yang rambutnya sudah memutih itu pernah menjadi pesepak bola terkenal. Sosok yang sangat disegani kawan dan lawan ketika bermain di lapangan bola.
Mantan pemain yang mendapat julukan "Macan Betawi" dari pendukung Persija pada masanya itu datang hanya mengenakan celana pendek dan bersandal japit. Sangat sederhana. Tangan kanannya menenteng tas kresek berisi sepatu bola. "Sejak dulu, saya ya seperti ini. Main di dalam maupun di luar negeri bawanya ya tas kresek kayak begini saja," kata Tan Liong, sambil mencari posisi duduk di pinggir lapangan.
Sepatu butut yang pasangan sebelah kiri sudah bolong kecil di bagian samping itu lantas dikeluarkan dari tas kresek. Jari tangan yang kulitnya sudah mengeriput masih tampak tetap terampil memasang dan mengencangkan tali sepatu bergigi di bagian bawah khusus untuk sepak bola tersebut. "Saya tinggal lari-lari dulu ya," kata Tan Liong, sambil beranjak masuk ke lapangan.
Di dalam lapangan, wajah pria yang usianya sudah mencapai 10 windu lebih itu tampak semringah. Meski hanya sesekali mendapat bola, mantan pemain yang dulu biasa bermain di posisi gelandang (pemain tengah) kiri tersebut tetap rajin berlari mengikuti arah bola. Ketika permainan berlangsung, sesekali dia terlihat memberikan arahan kepada pemain lain yang mungkin usianya sepantaran dengan cucunya.
Meski lahir di Surabaya, Tan Liong tumbuh remaja di Jakarta. Bakat dan hobi bermain sepak bolanya juga makin terasah di kota yang dulu sempat dikenal pada masa pra kemerdekaan sebagai Batavia tersebut. Saat berumur sekitar 17 tahun, dia bergabung dengan Chun Hwa, salah satu perkumpulan sepak bola Tionghoa saat itu, yang kini dikenal sebagai PS Tunas Jaya.
Namun, pihak keluarga awalnya tidak memberikan dukungan kepada Tan Liong menekuni sepak bola. Adiknya, Tan Liong Pha, yang bermain untuk Persib Bandung Junior juga terpaksa berhenti karena tidak mendapatkan izin. Sedangkan Tan Liong oleh ibunya, Ong Giok Tjiam, akhirnya dikirim ke Semarang, Jawa Tengah. Selain untuk bersekolah di sana, tentu tujuan keluarganya adalah menjauhkan dia dari aktivitas bola kaki.
Namun, hal itu tidak menghentikan hobinya itu. Dia secara sembunyi-sembunyi justru tetap bermain bola. Bahkan, beberapa kali dia ikut melakukan pertandingan lawatan ke luar kota. Namanya berkibar di kompetisi antarkota sebagai salah seorang pemain berbakat. "Tapi, sepintar-pintarnya saya, akhirnya tetap ketahuan juga," kisah Tan Liong, lantas terkekeh.
Kegiatannya tetap bermain bola terbongkar setelah dalam sebuah pertandingan dia mengalami cedera cukup parah. Dahinya robek karena berbenturan dengan pemain lawan sehingga harus mendapat perawatan di rumah sakit. "Orang tua langsung suruh saya balik ke Jakarta lagi," ujarnya.
Namun, garis sebagai pemain bola tak bisa dielak. Sepulang dari Semarang, sang ayah mengizinkan Tan Liong bermain bola. Kegigihan anaknya mengasah bakat sejak kecillah yang menjadi alasannya.
Tak berselang lama, berbarengan dengan momentum seleksi timnas untuk persiapan Asian Games I di New Delhi, India, dia yang saat itu berusia sekitar 20 tahun dipanggil masuk tim nasional. Prestasinya pun semakin bersinar sejak itu.
Berturut-turut pria yang juga akrab dengan sapaan Tanoto itu menjadi langganan timnas. Bersama The San Liong, Kwee Kiat Sek, Bee Ing Hien, dan beberapa pemain Tionghoa lainnya, dia kembali membela Merah Putih pada Asian Games II 1954. Kemudian, itu berlanjut pada prestasi spektakuler dalam ajang Olimpiade Melbourne, Australia, pada 1956. Timnas saat itu berhasil masuk babak perempat final dan menahan imbang tanpa gol negara kuat favorit juara Uni Soviet (sekarang Rusia).
Strategi permainan keras tanpa kompromi sengaja dipilih sejak awal karena sadar bahwa secara kualitas teknik maupun fisik kalah oleh Rusia. "Kalau main strategi biasa, pasti gampang sekali kita dikubur," katanya. Dia lantas menunjukkan jari manis dan kelingkingnya sebagai perbandingan perbedaan timnas Indonesia dan Uni Soviet yang saat itu merupakan salah satu negara adidaya di dunia.
Karena strategi bermain keras tersebut, Tan Liong sampai merasa perlu memasang pengaman untuk kakinya dua sekaligus. Tidak hanya bagian depan menutup tulang kering, tapi juga bagian belakang. "Mau mati kek, mau apa kek, saya sudah siap saat itu," tuturnya, penuh semangat.
Namun sayang, karena telah diforsir pada pertandingan pertama, di leg kedua dua hari kemudian untuk penentuan tim mana yang meneruskan ke babak berikutnya, Indonesia harus mengakui keunggulan Uni Soviet. Skor telak 4-0 untuk kemenangan tim lawan. Uni Soviet kemudian terus melaju dan berhasil menjadi juara pada ajang Olimpiade 1956 tersebut.
Namun, jangan membayangkan bahwa perjuangan timnas yang banyak digawangi pemain warga Tionghoa waktu itu mendapat support penuh dari publik Indonesia seperti saat timnas Indonesia berlaga dalam ajang AFF 2010 beberapa waktu lalu.
Sebelum melaju ke babak perempat final bertemu Uni Soviet, Indonesia terlebih dahulu harus menghadapi Republik Rakyat Tiongkok. Keraguan dan tudingan miring pun dialamatkan kepada para pemain timnas warga Tionghoa. Tan Liong dan kawan-kawan sempat dianggap akan bermain setengah hati bila bertemu pemain Tiongkok.
"Ini kalau diomongkan memang nggak enak. Tapi, kenyataannya kayak gitu. Seperti saya, biarpun WNI, tetap ada embel-embel Tionghoa-nya di belakang," keluh Tan Liong. Meski berhasil menjawab dengan kemenangan, tudingan yang sama ternyata masih dialamatkan saat Indonesia kembali harus melawan Tiongkok dalam pertandingan Pra Piala Dunia 1958.
Namun, untuk kali kedua, Tan Liong dkk kembali bisa menjawab dengan keberhasilan mengalahkan negara dengan penduduk terbesar di dunia tersebut. "Aku nggak ada pikiran kayak begitu-begitu, pokoknya aku dapat tugas main, ya main sebaik-baiknya. Saya Indonesia, lahir di sini, makan di sini, berak di sini, mati juga di sini," tegas mantan pemain yang juga pernah membela Persija itu.
Perlakuan diskriminatif kepada para pemain warga Tionghoa saat itu, menurut dia, menjadi salah satu alasan surutnya warga Tionghoa dalam dunia sepak bola tanah air hingga saat ini. Termasuk alasan terkuat dirinya mundur dari timnas pada 1962. "Jadi, saya mundur bukan karena tidak laku lagi. Saya masih dipakai waktu itu," ujarnya.
Padahal, lanjut dia, menjadi pemain timnas sepak bola Indonesia sesungguhnya merupakan impian dan kebanggaan tersendiri bagi bapak empat orang anak itu. Saking berartinya, sampai-sampai, kaus timnas yang dipakainya saat membela Merah Putih tidak pernah dikenakan di luar lapangan. "Saya nggak mau pakai sembarangan. Mentang-mentang menjadi pemain timnas, lalu ke mana-mana pakai kaus yang ada gambar garudanya itu. Kalau saya, enggak," tutur Tan Liong.
Sejumlah jersey timnas yang dimilikinya selama 12 tahun membela timnas Indonesia tetap disimpan rapi. "Yang namanya pusaka itu cuma dipakai saat berjuang. Ini bentuk penghargaan saya. Sebab, garuda benar-benar ada di sini," tandasnya, sambil menunjuk dada sebelah kiri.
Bermain sepak bola, baik di klub maupun timnas saat membela Indonesia, juga bukan pertimbangan uang atau materi. Menurut Tan Liong, sekali bermain di Persija dia hanya dibayar segobang atau 2,5 sen. Uang sebesar itu pada zaman tersebut bisa digunakan untuk membeli semangkuk soto betawi yang sekarang harganya sekitar Rp 10 ribu. Sedangkan di timnas, saat Olimpiade, dia hanya mendapat USD 1 dolar sehari. "Jadi, bukan uang pertimbangannya," tegasnya.
Dua anak Tan Liong, Budi Tanoto dan Wahyu Tanoto, sebenarnya juga sempat mengikuti jejak ayahnya sebagai pemain bola. Keduanya juga pernah masuk timnas dan Persija senior pada era 1980-an. Namun, kiprah keduanya cuma sekilas dan tidak sefenomenal ayahnya.
sumber :http://forum.vivanews.com/showthread.php?t=70910