Adalah tahun baru Islam. Hari yang dikenal dalam kalender jawa dengan sebutan 1 Suro ini bagi banyak kalangan memiliki keistimewaan tersendiri. Umumnya masyarakat Jawa menjadikannya sebagai hari besar yang mereka rayakan dengan semarak. Pada hari ini di banyak tempat akan dilangsungkan berbagai macam acara “kebudayaan”, seperti yang terdapat di kota Solo, Cirebon, Jogja, Malang dan tempat-tempat lain di tanah air.
Sedangkan di ibukota sendiri acaranya terpusat di Taman Mini Indonesia Indah. Antusias masyarakat terhadap acara-acara ini begitu meriah, hal ini terlihat dari jumlah yang hadir yang bisa mencapai hingga ribuan orang. Selain acaranya yang beragam, motivasi masyarakat yang datang juga berbeda-beda.
Diantara acara yang diselenggarakan di hari ini seperti Acara Kirab Pusaka Kerajaan di Kasunanan Surakarta berkeliling kota menjelang tengah malam 1 Suro, mubeng beteng keliling benteng Keraton Jogja tanpa berkata sepatah kata pun, pencucian benda-benda pusaka (jimat tradisional) di Keraton Kesepuhan Cirebon, ritual Kirab Tumuruning Maheso Suro di kota Bantul Jawa Tengah berikut acara mendengarkan ramalan Mbah Jokasmo yang konon sebagai mediator kanjeng ratu kidul yang diyakini masyarakat setempat sebagai penguasa laut selatan. Dan di Jawa Timur tidak kalah seru, bertempat di area pasarean (pemakaman keramat) Gunung Kawi berbagai acara digelar, ada pertunjukan wayang kulit, barongsai dan juga acara keliling pendopo sebanyak tujuh kali berlawanan arah jarum jam dengan setiap saat berhenti di depan pintu sisi utara, timur, selatan dan barat sambil menghormat ke dalam makam, dengan maksud ngalap berkah, mengharap keberuntungan dan niatan lainnya.
Acara-acara seperti ini di tanah air ada yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lampau, seperti Acara Kirab Pusaka Kerajaan yang konon sudah ada sejak Keraton Surakarta berdiri tahun 1745 M. Dan di TMII acara-acara serupa juga digelar dan dimeriahkan oleh dalang-dalang dan paranormal ternama. Pertanyaannya apa tinjauan Islam terhadap acara tersebut?
Sudah merupakan prinsip agama ini bahwa Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang diibadahi. Setiap peribadahan kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah ibadah yang batil dan pelakunya terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat dari perbuatannya. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al Hajj: 62)
Dan Allah Subhaanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa pelaku kesyirikan kekal di neraka jahannam pada ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (QS. Al Maidah: 72)
Maka ibadah apa pun bentuknya adalah haram diperuntukkan kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala. Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Rahimahullah berkata menerangkan pengertian ibadah di dalam kitabnya Al Ubudiyah, “Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridha’i Allah dari ucapan dan perbuatan yang lahir dan tersembunyi”.
Maka shalat, puasa, zakat, haji adalah ibadah. Istighatsah (minta keselamatan), isti’anah (minta pertolongan), takut dan mengharap adalah ibadah, dan yang lain sebagainya dari macam-macam ibadah semuanya hanya untuk Allah Subhaanahu wa ta’ala. Inilah prinsip tauhid (memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala semata) yang menjadi landasan paling fundamental di dalam Islam. Barangsiapa yang melanggarnya maka ia jatuh ke dalam kesyirikan kecil atau besar tergantung jenis pelanggarannya.
Seperti Acara Kirab Pusaka di Kota Solo, Pencucian Jimat di Cirebon sudah maklum diketahui di dalam Islam bahwa Dzat Yang Memberi manfaat dan Menolak Kemudharatan hanya AllahSubhaanahu wa ta’ala semata, Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:”Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”, niscaya mereka menjawab:”Allah”.Katakanlah:”Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri” (QS. Az-Zumar: 38)
Berdasarkan ayat ini dan dalil-dalil yang lain, maka keyakinan-keyakinan terhadap benda pusaka, jimat dan yang lainnya bahwa benda-benda tersebut bisa mendatangkan manfaat atau menolak kemudharatan adalah batal. Seorang muslim haram meyakini ada kekuatan terselubung atau berkah tertentu pada benda-benda tersebut tanpa keterangan dari Allah Subhaanahu wa ta’ala di dalam Al Qur’an atau Rasul-Nya di dalam As-Sunnah menurut pemahaman generasi pertama ummat ini (para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Apakah seseorang berkeyakinan bahwa benda tersebut bisa mendatangkan manfa’at dan menolak kemudharatan dengan sendirinya (syirik besar) atau benda-benda tersebut hanya sebagai perantara (syirik kecil).
Lantas apa hukumnya menghadiri acara-acara di atas sebatas mengaguminya sebagai kebudayaan tanpa ada keyakinan-keyakinan tertentu? Jawabnya, adalah haram. Karena Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya:”Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata):”Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali”. (QS. Al Mumtahanah: 4)
Kemudian diantara acara-acara tersebut ada yang jelas-jelas merupakan syirik besar, seperti minta-minta kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala seperti yang kerap dilakukan para peziarah di area pasarean (pemakaman keramat) Gunung Kawi bertepatan dengan 1 Suro atau pada hari-hari besar Islam. Apakah minta berkah, minta restu, minta keselamatan, kesejahteraan dan maksud-maksud lainnya. Begitu juga acara pemujaan dan pemberian sesajian yang kental mewarnai acara-acara seperti ini. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina”. (QS. Al Furqan: 69)
Dan seorang yang berakal akan mendapati dengan jelas pada acara-acara tersebut warna yang kental dalam upayanya menyaingi syari’at yang suci ini, syari’at Islam. Beberapa diantaranya seperti acara keliling benteng di Kraton Jogja mirip dengan thawaf di Baitullah, begitu juga keliling pendopo di Pasarean Gunung Kawi. Acara-acara ini kalau bukan kesyirikan, paling ringan adalah bid’ah yang mungkar di dalam Islam.
Belum lagi acara ruwatan yang sering diadakan di TMII setiap awal tahun Jawa yang turut dimeriahkan oleh “dukun-dukun keren” (paranormal) yang unjuk kebolehan di hadapan ribuan hadirin yang termakan oleh sihir mereka. Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa mendatangi dukun atau paranormal dan mempercayai ucapannya maka dia telah kafir terhadap yang diturunkan kepada Muhammad”. Yaitu dia telah kafir terhadap Al Qur’an, dan orang yang kufur terhadap Al Qur’an batal keislamannya.
Maka berhati-hatilah dari acara-acara seperti ini yang sarat dengan bid’ah, kesyirikan dan pemujaan kepada selain Allah Subhaanahu wa ta’ala. Dan cukup bagi kita dua hari besar tahunan yang diakui di dalam Islam Hari Raya ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha. Dan wajib bagi setiap muslim untuk tidak tolong menolong dalam kejelekan, seperti mempromosikan acara-acara di atas, memujinya, atau ikut melestarikannya. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya),“(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan).Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”. (QS. An-Nahl: 25)
Sumber: www.ahlussunnah-jakarta.com, Pnulis : Al Ustadz Jafar Shalih Judul: Di Balik Meriahnya Peringatan Malam 1 Suro. Dengan sedikit pengeditan tanpa mengubah maknanya.