Posted by ngunik
On
Minggu, 30 Januari 2011
MEDAN-TRAGEDI Putra Simangunsong (12) dan adiknya, Feri alias Mario alias Rio Simangunsong (9) tewas terpanggang dengan posisi saling berpelukan pada insiden kebakaran saat listrik padam 2 malam (18/1) lalu di Perumnas Simalingkar, Medan, tak hanya mengoyak batin ayah dan ibu 2 bocah nahas itu. Sejumlah tetangga mereka di Jl. Teh XI, Perumnas Simalingkar, hingga kemarin pun masih berduka. Inilah 3 peristiwa ganjil yang mereka saksikan jelang musibah maut itu datang.
Pertama, sepasang burung gagak ditemukan terbang berputar-putar di atas kawasan Jl. Teh XI. Usai berputar-putar, sepasang burung dikenal dengan mitos pembawa kabar kematian itu, juga hinggap di seng rumah orang tua 2 bocah itu,
Ferdin Simangungsong dan Nurli boru Hutapea (50), Jl. Teh XI, No. 14. Kisah 2 gagak ini terjadi seminggu sebelum insiden kebakaran maut itu.
Sebelum temuan 2 gagak melayang-layang sambil berkicau keras, keganjilan juga dilihat sejumlah warga kawasan Jl. Teh XI. Tak seperti biasa, Putra dan adiknya, Feri selalu berpelukan saat pergi sama ke sekolah. Begitu juga di sela mereka bermain di sekitar rumah. Warga yang melihat saat itu hanya menilai, aksi itu bentuk canda keakraban polos abang dan adik itu. Tak seorang pun menduga, kematian bersamaan 2 bocah lucu itu juga dengan posisi saling berpelukan.
Keanehan ketiga terjadi Minggu (17/1) sore sekira pukul 5 atau beberapa jam sebelum petaka maut itu datang. Ceritanya, usai ayah kandung mereka, Ferdin Simangunsong sehari sebelumnya pulang ke tempat kerjanya di kawasan Kerinci, Riau -usai cuti panjang libur Natal dan Tahun Baru bersama keluarga, sore itu sang ibu, Nurli, membawa Putra dan Feri ke tukang pangkas, sekira 300 meter dari rumahnya.
Setiba di lokasi pangkas, insting Nurli seperti tahu: dia akan berpisah selamanya dengan 2 anak tercintanya itu. Sebelum sang tukang pangkas memotong rambut Putra dan Feri, Nurli lebih dulu mengambil gunting lalu memotong sedikit rambut kedua anaknya itu.
“Selama (saya jadi tukang) memangkas, baru sekali itu terjadi keganjilan. Ibunya mengambil gunting pangkas dan memotong sedikit rambut 2 anaknya. Seolah-olah itu seperti pertanda (kematian),” ungkap si tukang pangkas, yang kontan teringat peristiwa itu begitu kemarin mendengar kabar: 2 bocah itu tewas mengenaskan.
Saking mengenaskan, Ny. Dumaria Ompusunggu, Kepsek tempat Feri alias Rio belajar di bangku kelas 3 SDN 068332, Jl. Rame -tak jauh dari rumahnya, kemarin juga teringat kebiasaan terakhir muridnya itu. Cerita Dumaria, sejak kembali masuk sekolah 11 Januari 2009 -usai libur Natal dan Tahun Baru, “Dia (Rio) suka termenung di kelas atau di luar kelas.”
Di hari pertama masuk sekolah itu, Feri atau Rio diantar ibunya, Nurli. Sang Kepsek pun masih ingat sebait ucapan ibu Rio yang saat itu didengarnya biasa, tapi jadi sangat punya arti menyusul bocah itu dan abangnya tewas saat ditinggal ibu yang pergi bekerja. “Cemanalah Bu (Kepsek), dari kampung jagalah anakku ini,” Dumaria mengulang ucapan Nurli padanya.
Tangis Massal Sesaat Hentikan Prosesi Penguburan
Di tengah hujan tangis, jenazah Putra Simangunsong dan adiknya, Feri alias Rio Simangunsong kemarin (19/1) dimakamkan dalam satu liang lahat di pekuburan kampung halaman orang tuanya, Dusun Ompu-ompu, Desa Siantar Narumonda Tiga, Kec. Siantar Narumonda, Kab. Toba Samosir (Tobasa).
Makam 2 bocah itu berdekatan dengan makam dua oppung dari pihak ayah mereka, yakni Op Dumoli Doli Simangunsong dan Op Dumoli br Marpaung. Ferdin Simangunsong, ayah mereka yang tak di rumah saat peristiwa maut itu -sejak lama sang ayah bekerja di perantauan dan hanya sekali setahun bertemu anak-anak dan isterinya, saat penguburan kemarin telah tiba dari Kerinci.
“Jangan tinggalkan aku Putra... Mario...” jerit isterinya, Nurli, saat 2 jenazah anak mereka diturunkan. Jerit tangis Nurli kontan disambut tangis haru Ferdin dan para pelayat. Akibat tangis massal itu, prosesi pemakaman sempat terhenti sekitar 15 menit. Karena itulah, seorang pelayan dari gereja Katholik menenangkan pihak keluarga yang berduka.
“Loas hamu ma anak munaon lao tu ingananna naung diparade Tuhan i (Persilahkan anak kalian pergi ke tempat yang sudah disediakan, untuk menghadap kepada Tuhannya, red),” kata pelayat itu sambil membawakan kidung jemaat. Setelah dua peti jenazah diperciki air, pastor pun berkhotbah.
Tapi ibu 2 bocah itu kembali histeris. “Nunga ditomu-tomuho be pahompumonda inang... (Sudah kau jemput cucumu ini, Ibu..., red),” Nurli kembali histeris sambil memandang makam kedua mertuanya.
Usai Nurli ditenangkan, 2 jenazah itu dimakamkan berdampingan dalam satu lubang. Peti jenazah Putra yang pertama kali diturunkan, disusul peti adiknya, Rio. Saat prosesi penurunan peti, lagi-lagi Nurli beraksi. Begitu dua peti mati anaknya dimasukkan, dia berusaha melompat ke liang lahat itu. Beruntung aksinya digagalkan suaminya, Ferdin. Pun begitu, Nurli terus saja histeris sambil meronta-ronta. “Jangan turunkan anakku sebelum kupegang petinya!” jeritnya.
Saat peti sudah diturunkan, keluarga memberikan salib. Segera saja dua salib itu dipeluk Nurli. Saat melihat salib Putra, Nurli bergumam, “Mana anakku Mario?”
Seorang saudara lalu memberi salib Mario pada ibunya. Nurli segera memeluknya. Beda dengan sang ibu, Ferdin, sang ayah, tak banyak terdengar bersuara. Hanya sesekali terdengar isak tangisnya. Lelaki pekerja perkebunan ini tampak mengeluarkan handphone dan mengabadikan peti jenazah 2 putranya. “Selamat tinggal anakku. Selamat jalan. Kami yang kau tinggalkan...” Nurli pun menabur tanah dan bunga di makam 2 putra kesayangannya.
Dua bocah Batak ini tewas terpanggang dengan tangan saling berangkulan saat kobaran api melumat seisi rumah orang tua mereka di Jl. Teh XI, No. 14, Kel. Mangga, Kec. Medan Tuntungan, Perumnas Simalingkar, Senin (18/1) dinihari lalu. Saat kejadian, Nurli sedang kerja malam di RS Elisabeth, Medan. Si bungsu Gress (6) selamat karena Nurli Minggu (17/1) malam itu menitipnya pada adiknya, F boru Hutapea, yang tinggal di Jl. Teh VIII, sekira 200 meter dari rumahnya.
Selama ini, Putra, Rio dan si bungsu Gress selalu ditinggal ibu yang sibuk bekerja, juga ayah yang mencari nafkah di perantauan. Kematian Putra dan Rio yang tragis diduga akibat 2 kaleng api penerang mereka di rumah, menyambar dinding kamar hingga melumat seisi rumah. Minggu jelang Senin (18/1) dinihari itu, usai ibu mereka pergi bekerja shift malam, listrik di kawasan itu mendadak padam. (haidir/reza/mes)